Hadis Shahih, Kriteria Para Periwayatnya
Table of Contents
Kalangan Muhaddisin mengelompokkan studi kritik hadis ini ke dalam dua hal, yaitu:
1) Naqd zhahiri atau naqd khariji (kritik eksternal) yang menganalisis dengan kritis sanad hadis;
2) Naqd batini atau naqd dakhili (kritik internal) dengan objek material matan hadis.
![]() |
Contoh Rangkaian Sanad Hadis |
Studi Sanad Hadis (Naqd Zhahiri)
Latar Belakang Pentingnya Studi Sanad HadisSanad hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kajian Islam. Hal ini dikarenakan, yang pertama, karena ia merupakan bagian dari sebuah hadis dan hadis sendiri memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai sumber hukum dan ajaran Islam kedua setelah al-Quran.
Jika saja hadis tidak memiliki kedudukan yang begitu penting dalam Islam, maka niscaya para ahli hadis dan para ulama lainnya tidak akan bersusah payah mempelajari tentang hadis, termasuk melakukan studi sanad hadis.
Yang kedua, jika kita melihat sisi sejarah hadis, maka ada beberapa hal yang menjadikan sanad hadis sebagai sesuatu yang amat penting untuk dikaji, antara lain
a) pada masa Nabi tidak semua hadis tertulis,
b) setelah masa Nabi banyak berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis, dan
c) penghimpunan hadis secara resmi dan secara masal dilakukan setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis.
Untuk mengetahui keotentikan sebuah hadis, penelitian terhadap sanad mutlak dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya pada masa Nabi, sebagian hadis hanya diterima dan diriwayatkan oleh para sahabat secara lesan karena Nabi memang melarang penulisan hadis, kecuali hanya pada beberapa orang sahabat. Melihat kenyataan ini, maka jelas sebuah studi atas sanad hadis mutlak diperlukan untuk mengetahui keaslian sebuah hadis.
Hal lain yang mendorong perlu adanya sebuah studi atas sanad hadis adalah berkembangnya pemalsuan hadis yang marak sepeninggal Nabi, baik yang dilakukan untuk tujuan politik atau untuk tujuan lainnya. Apapun tujuannya, walaupun tujuan itu baik sekalipun, perbuatan pemalsuan hadis adalah perbuatan tercela dan menyesatkan, bahkan diancam dengan hukuman neraka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,
Untuk mengetahui keotentikan sebuah hadis, penelitian terhadap sanad mutlak dilakukan. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya pada masa Nabi, sebagian hadis hanya diterima dan diriwayatkan oleh para sahabat secara lesan karena Nabi memang melarang penulisan hadis, kecuali hanya pada beberapa orang sahabat. Melihat kenyataan ini, maka jelas sebuah studi atas sanad hadis mutlak diperlukan untuk mengetahui keaslian sebuah hadis.
Hal lain yang mendorong perlu adanya sebuah studi atas sanad hadis adalah berkembangnya pemalsuan hadis yang marak sepeninggal Nabi, baik yang dilakukan untuk tujuan politik atau untuk tujuan lainnya. Apapun tujuannya, walaupun tujuan itu baik sekalipun, perbuatan pemalsuan hadis adalah perbuatan tercela dan menyesatkan, bahkan diancam dengan hukuman neraka, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis,
وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
Artinya: "Berkata padaku Muhammad bin Ubaid al-Ghubari, berkata padaku Abu Awanah dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah untuk mengambil tempat duduknya di Neraka."
Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah maraknya pembuatan hadis palsu itulah para ulama hadis menyusun kaidah-kaidah penelitian hadis, diantaranya ialah kaidah keshahihan sanad hadis. Dengan adanya kaidah-kaidah itu maka para muhaddisin dapat meneliti keotentikan hadis dan memisahkan bercampurnya hadis-hadis yang asli dan hadis-hadis palsu.
Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah maraknya pembuatan hadis palsu itulah para ulama hadis menyusun kaidah-kaidah penelitian hadis, diantaranya ialah kaidah keshahihan sanad hadis. Dengan adanya kaidah-kaidah itu maka para muhaddisin dapat meneliti keotentikan hadis dan memisahkan bercampurnya hadis-hadis yang asli dan hadis-hadis palsu.
Unsur-Unsur Kesahihan Sanad Hadis
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa untuk menentukan keotentikan sebuah hadis, para Ulama telah menyusun kaidah-kaidah penelitian hadis, yang diantaranya adalah kaidah penelitian sanad hadis. Ada beberapa kriteria yang ditetapkan oleh para ulama untuk melakukan studi sanad.Prof. Dr. Syuhudi Ismail membagi kaidah kesahihan sanad hadis menjadi dua bagian, yaitu kaidah mayor dan kaidah minor. Kaidah mayor adalah semua syarat, kriteria, atau unsur yang berstatus umum, dan yang dimaksud kaidah minor adalah semua syarat, kriteria, atau unsur yang bersifat khusus.
Kaidah Mayor Kesahihan Sanad Hadis
Ulama mutaqaddimin (pada abad III H.) belum menyebutkan definisi secara jelas tentang hadis sahih. Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat dipegangi, diantaranya:
1) Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqqah
Kaidah Mayor Kesahihan Sanad Hadis
Ulama mutaqaddimin (pada abad III H.) belum menyebutkan definisi secara jelas tentang hadis sahih. Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat dipegangi, diantaranya:
1) Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqqah
2) Hendaknya orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah shalatnya, perilakunya dan keadaan dirinya; apabila shalatnya, perilakunya dan keadaan orang itu tidak baik, agar tidak diterima riwayat hadisnya.
3) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
4) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
5) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Pernyataan-pernyataan di atas hanya meliputi beberapa hal dari keseluruhan aspek yang harus diteliti dalam studi sanad hadis dan hanya tertuju pada kualitas dan kapasitas perawi; yang boleh diterima atau ditolak periwayatannya.
Imam Syafi'i telah memberikan penjelasan yang lebih spesifik dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafi'i menyatakan bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila diriwayatkan oleh para periwayat yang :
3) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
4) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
5) Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Pernyataan-pernyataan di atas hanya meliputi beberapa hal dari keseluruhan aspek yang harus diteliti dalam studi sanad hadis dan hanya tertuju pada kualitas dan kapasitas perawi; yang boleh diterima atau ditolak periwayatannya.
Imam Syafi'i telah memberikan penjelasan yang lebih spesifik dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafi'i menyatakan bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali apabila diriwayatkan oleh para periwayat yang :
a) dapat dipercaya pengamalan agamanya,
b) dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita,
c) memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan,
d) mengetahui perubahan makna hadis apabila terjadi perubahan pada lafadnya,
e) mampu meriwayatkan secara lafad, tidak hanya secara makna,
f) terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan terpelihara catatannya, bila ia meriwayatkan dari tulisannya,
g) apabila hadis yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadis itu tidak boleh berbeda, dan
h) terhindar dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis).
Kriteria kesahihan hadis yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i oleh sebagian besar Muhaddisin dianggap telah mencakup keseluruhan aspek kesahihan hadis. Hanya saja beliau secara metodologi belum menyinggung kemungkinan munculnya 'illat dan syadz dalam sebuah hadis.
Ulama hadis lainnya, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim juga mempunyai kriteria yang sama dalam menentukan kesahihan hadis, yaitu:
1) Rangkaian periwayat dalam sanad hadis harus bersambung mulai dari periwayat pertama hingga periwayat terakhir.
2) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang tsiqqah, dalam arti dhabit dan adil.
3) Hadis itu terhindar dari cacat dan kejanggalan
4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad haruslah sezaman
Perbedaan pokok antara Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah pada poin terakhir, dimana Imam Bukhari mensyaratkan pula adanya pertemuan antara rawi terdekat dalam sanad walaupun cuma sekali. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan sezaman tanpa mensyaratkan terjadinya pertemuan diantara sanad yang terdekat.
Kriteria kesahihan hadis yang diungkapkan oleh Imam Syafi'i oleh sebagian besar Muhaddisin dianggap telah mencakup keseluruhan aspek kesahihan hadis. Hanya saja beliau secara metodologi belum menyinggung kemungkinan munculnya 'illat dan syadz dalam sebuah hadis.
Ulama hadis lainnya, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim juga mempunyai kriteria yang sama dalam menentukan kesahihan hadis, yaitu:
1) Rangkaian periwayat dalam sanad hadis harus bersambung mulai dari periwayat pertama hingga periwayat terakhir.
2) Para periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang tsiqqah, dalam arti dhabit dan adil.
3) Hadis itu terhindar dari cacat dan kejanggalan
4) Para periwayat yang terdekat dalam sanad haruslah sezaman
Perbedaan pokok antara Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah pada poin terakhir, dimana Imam Bukhari mensyaratkan pula adanya pertemuan antara rawi terdekat dalam sanad walaupun cuma sekali. Sedang Imam Muslim hanya mensyaratkan sezaman tanpa mensyaratkan terjadinya pertemuan diantara sanad yang terdekat.
Ketegasan Imam Bukhari dalam menerapkan syarat bagi bersambungnya sanad merupakan salah satu dari alasan para Muhaddisin yang untuk lebih mengunggulkan Imam Bukhari atas Imam Muslim.
Dari berbagai pendapat ulama hadis di atas, ditambah lagi oleh pendapat-pendapat ulama lainnya, maka dapat disimpulkan bahwasanya unsur-unsur kaidah mayor kesahihan sanad hadis meliputi:
1) Sanad bersambung
2) Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat adil
3) Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat dhabit
4) Sanad hadis itu terhindar dari 'illat
5) Sanad hadis itu terhindar dari syadz
Dengan demikian, hadis-hadis yang rangkaian sanadnya tidak memenuhi unsur di atas maka kualitas sanadnya tidak sahih.
-------------- (Irvan M. Hussein) --------------
Dari berbagai pendapat ulama hadis di atas, ditambah lagi oleh pendapat-pendapat ulama lainnya, maka dapat disimpulkan bahwasanya unsur-unsur kaidah mayor kesahihan sanad hadis meliputi:
1) Sanad bersambung
2) Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat adil
3) Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat dhabit
4) Sanad hadis itu terhindar dari 'illat
5) Sanad hadis itu terhindar dari syadz
Dengan demikian, hadis-hadis yang rangkaian sanadnya tidak memenuhi unsur di atas maka kualitas sanadnya tidak sahih.
-------------- (Irvan M. Hussein) --------------
REFERENSI
H. M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah Kritik Mushthofa as-Siba'i terhadap Pemikiran Ahmad Amin mengenai Hadist dalam Fajr al-Islam, Kencana, Bogor, 2003
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqoha, Teras, Yogyakarta, 2004
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 1995
Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut
Ali Mustofa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Pustaka firdaus, Jakarta, 1996
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Paramadina, Jakarta, 2000
H. M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah Kritik Mushthofa as-Siba'i terhadap Pemikiran Ahmad Amin mengenai Hadist dalam Fajr al-Islam, Kencana, Bogor, 2003
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqoha, Teras, Yogyakarta, 2004
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 1995
Muslim, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut
Ali Mustofa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Pustaka firdaus, Jakarta, 1996
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Paramadina, Jakarta, 2000
Post a Comment