Larangan Memberikan Zakat Fitrah Kepada Orang Tua dan Anak Kandung
Table of Contents
Hukum Mendistribusikan/Memberikan Zakat Fitrah Kepada Orangtua dan Anak
Dalam literatur-literatur fikih Syafi’iyyah, hukum mendistribusikan zakat fitrah kepada pihak keluarga diperinci sebagai berikut:
1). Jika keluarga yang dimaksud adalah orang-orang yang wajib dinafkahi (man talzamuhu nafaqatuhu) oleh muzakki (orang yang berzakat). Seperti orang tua, kakek/nenek, anak, cucu, dan istri, maka muzakki tidak dibolehkan mendistribusikan zakatnya kepada mereka.
Prinsip kewajiban memberi nafkah misalnya orang tua muzakki sudah sangat tua; tidak mampu untuk bekerja lagi dan kepada anak kita yang masih kecil atau sudah besar namun belum / tidak mampu bekerja.
Alasannya pelarangan ini, karena zakat yang didistribusikan kepada keluarga yang wajib dinafkahi, manfaatnya akan kembali kepada pihak yang membayar zakat, yaitu tercegahnya kewajiban nafkah si muzakki kepada orang tua atau anaknya. Jadi, seolah-olah muzakki menzakati dirinya sendiri. Karena itu, zakat kepada keluarga dilarang.
Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i dijelaskan:
فَلاَ يَجُوْزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَى الْأَبِّ وَالْأُمِّ أَوِ الْجَدِّ وَالْجَدَّةِ مَهْمَا عَلَوْا، لِأَنَّ نَفَقَتَهُمْ وَاجِبَةٌ عَلَى الْفُرُوْعِ. وَكَذلِكَ لاَ يَجُوْزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَى الْأَبْنَاءِ وَالْبَنَاتِ وَفُرُوْعِهِمْ إِنْ كَانُوْا صِغَارًا، أَوْ كِبَارًا مَجَانِيْنَ أَوْ مَرْضَي مُزْمِنِيْنَ، لِأَنَّ نَفَقَةَ هؤُلاَءِ وَاجِبَةٌ عَلَى أبَائِهِمْ. وَأَيْضًا لاَ تُعْطَى الزَّكَاةُ لِلزَّوْجَةِ، لِأَنَّ نَفَقَتَهَا وَاجِبَةٌ عَلَى زَوْجِهَا.
Artinya :
Tidak diperbolehkan mendistribusikan zakat kepada ayah, ibu, kakek, dan nenek hingga ke atas-atasnya. Sebab nafkah mereka menjadi tanggungan anak. Begitu juga tidak diperbolehkan zakat kepada anak laki-laki dan anak perempuan hingga ke bawah-bawahnya, ketika mereka masih kecil, atau sudah dewasa tetapi mengalami keterbelakangan mental atau menderita penyakit kronis atau lumpuh (sehingga tidak mampu bekerja.pen). Dalam kondisi demikian, orangtua berkewajiban menanggung nafkah mereka. Zakat juga tidak boleh didistribusikan kepada istri karena nafkah istri adalah tanggungan suami. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 65)
Hanya saja ketidakbolehan distribusi zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi ketika mengatasnamakan mereka sebagai bagian dari fakir miskin. Namun jika status mereka adalah gharim (orang yang punya hutang) atau orang yang berperang membela agama Allah, maka memberikan zakat fitrah kepada mereka diperbolehkan.
هذَا وَمِمَا يَنْبَغِي أَنْ يُنْتَبَهَ إِلَيْهِ أَنَّ هؤُلاَءِ لاَ يُعْطَوْنَ مِنَ الزَّكَاةِ بِوَصْفِ الْمَسْكَنَةِ أَوِ الْفَقْرِ. أَمَّا لَوْ كَانَ أَحَدُهُمْ مِنْ صِنْفٍ غَيْرِ صِنْفِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَمَا إِذَا كَانَ غَارِمًا أَوْ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّهُ يَجُوْزُ لِمَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ زَكَاةَ مَالِهِ لِذَاكَ الْوَصْفِ.
Artinya :
Termasuk hal yang sebaiknya diperhatikan adalah bahwa mereka (keluarga muzakki) tidak boleh menerima zakat atas nama miskin atau fakir. Namun jika salah satu dari mereka tidak berstatus fakir dan miskin, misalnya berstatus gharim (orang yang berhutang) atau sabilillah (berperang membela agama Allah). Maka bagi muzakki diperbolehkan mendistribusikan zakatnya kepada keluarga yang wajib dinafkahi atas nama gharim atau sabilillah. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 65)
Imam al-Nawawi menambahkan bolehnya memberikan zakat pada orang tua dan anak jika mereka termasuk amil (pengurus zakat) dan mukatab (budak yang disyaratkan majikannya melakukan pembayaran agar bisa merdeka), dan mengecualikan mu’allaf. Artinya, meski amil dan mukatab bagian dari keluarga yang wajib dinafkahi, muzakki boleh mendistribusikan zakat fitrahnya kepada mereka atas nama amil dan mukatab.
Namun jika status mereka adalah muallaf, maka muzakki tidak diperbolehkan memberikan zakatnya.
قَالَ أَصْحَابُنُا: وَيَجُوْزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَى وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِيْنَ وَالْمُكَاتَبِيْنَ وَالْغَارِمِيْنَ وَالْغُزَاةِ إِذَا كَانَا بِهذِهِ الصِّفَةِ، وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُدْفَعَ إِلَيْهِ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ إِنْ كَانَ مِمَّنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لِإَنَّ نَفْعَهُ يَعُوْدُ إِلَيْهِ وَهُوَ اِسْقَاطُ النَّفَقَةِ.
Artinya :
Ashab kami (mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa zakat boleh didistribusikan kepada anak dan orangtua. Dengan syarat, status mereka adalah amil, mukatab, gharim (orang yang punya hutang) dan orang yang berperang karena membela agama Allah. Namun jika status mereka adalah mu’allaf, sementara mereka termasuk orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki. Maka mereka tidak boleh menerima zakat karena manfaatnya akan kembali kepada muzakki sendiri, yaitu gugurnya nafkah. (Imam al-Nawawi, al-Majmu’, 7, hlm. 274)
2). Jika keluarga yang dimaksud bukan termasuk yang wajib dinafkahi oleh muzakki (orang yang mengeluarkan zakat).
Seperti saudara laki-laki atau perempuan (kakak/adik kandung), paman atau bibi dari keluarga ayah, paman atau bibi dari keluarga ibu, dan anak-anak mereka. Sementara status mereka adalah fakir atau miskin atau mustahiq yang lain, maka muzakki boleh mendistribusikan zakat fitrahnya kepada mereka.
وَإِذَا كَانَ لِلْمَالِكِ الَّذِي وَجَبَتْ فِي مَالِهِ الزَّكَاةُ أَقَارِبُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمْ، كَالْإِخْوَةَ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالاَتِ وَأَبْنَائِهِمْ وَغَيْرِهِمْ، وَكَانُوْا فُقَرَاءَ أَوْ مَسَاكِيْنَ، أَوْ غَيْرَهُمْ مِنْ أَصْنَافِ الْمُسْتَحِقِّيْنَ لِلزَّكَاةِ، جَازَ صَرْفُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِمْ، وَكَانُوْا هُمْ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِمْ.
Artinya :
Ketika pemilik harta yang wajib dizakati memiliki keluarga yang tidak wajib dinafkahi. Seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, paman atau bibi dari keluarga ayah, paman atau bibi dari keluarga ibu dan anak-anak mereka atau yang lain. Sementara status mereka adalah fakir dan miskin atau golongan penerima zakat yang lain, maka ia boleh mendistribusikan zakatnya kepada mereka. Bahkan mereka lebih berhak dibanding yang lain. (Musthfa Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhaji ala mazhab al-Imam al-Syafi’i, juz 2, hlm. 66)
(Abdul Wadud Kasyful Humam)
Post a Comment