Nikah Siri; Solusi atau Wujud Ketidakpercayaan Diri? (Part A)
Tujuan Sebuah Pernikahan
Pernikahan merupakan sunah rasul yang telah menjadi sebuah ikatan dan legalitas untuk memperbolehkannya hubungan badan antara lelaki dan perempuan. Dengan legalitas ini, maka tidak hanya berkonotasi sempit pada sisi nafsu (hubungan badan) semata, tetapi juga mengandung unsur ikatan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan (suami-istri).Dari alur berpikir di atas, maka penulis berasumsi bahwa tujuan pokok dari pernikahan adalah untuk memberikan legalitas pada sebuah hubungan dengan beberapa aturan dan tanggung jawab yang ada.
Dalam artikel ini, penulis berusaha melakukan kajian reinterpretasi terhadap teks-teks penikahan, khususnya tentang legalitas hukum nikah siri, dengan berusaha menelorkan sebuah paradima berfikir baru atas teks-teks tersebut diinterkoneksikan dengan undang-undang pernikahan di Indonesia.
Nikah Siri; Definisi dan Bentuknya
Secara syara’, pernikahan diartikan dengan akad yang intinya mengandung penghalalan merengguk kenikmatan pada wanita dengan jalan bersetubuh, membelai (meraba-raba), mencium, memeluk atau dengan cara yang lain. Selain definisi ini tentu saja masih banyak definisi lain, tetapi penulis tidak membahasnya terlalu detail, karena semua bermuara pada satu makna yaitu ikatan suami-istri.
Sedangkan kata siri berasal dari kata as-sirru yang secara etimologi berarti perkara yang dirahasiakan. Sebagaimana kata ini juga dipakai dalam ayat al-Quran sebagai berikut:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dalam pengertian ini maka nikah siri adalah pernikahan yang dirahasiakan atau tidak diumumkan ke publik.
1. Pernikahan yang tanpa wali nasab (tanpa diketahui orang tua wanita) dan tanpa saksi.
2. Pernikahan yang dihadiri wali tanpa saksi.
3. Pernikahan dengan wali selain wali nasab (tanpa persetujuan wali nasab) dan tetap ada saksi, namun diminta untuk merahasiakannya.
4. Pernikahan berlangsung dengan syarat-syarat yang lengkap akan tetapi sepakat untuk tidak diberitahukan ke masyarakat luas.
5. Pernikahan yang berlangsung sesuai dengan aturan agama Islam, namun tidak tercatat di KUA.
Dari sekian bentuk dari pernikahan siri, dan kemungkinan perkembangan bentuk lainnya, maka penulis akan fokus pada bentuk pernikahan siri yang kelima, yaitu pernikahan yang secara agama sudah dianggap sah, namun tidak dicatatkan di KUA.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyid Hawwas, Fikih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2009.
Abdullah Basian, Akibat Hukum Perkawinan Siri (Tidak Dicatatkan) terhadap Kedudukan Istri, Anak, dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan, Tesis, Universitas Diponegoro, tahun 2010.
Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-’Urfi , Riyadh: Dar al-Ishmah, 2005.
Hilal yusuf Ibrahim, az-Zawaj al-Urfi li al-Muslimiin wa Ghairu al-Muslimin, dar al-Mahbu’at al-Jamiyyah, Iskandaria. Tt.
Ibnu Hibban, Shahih ibnu Hibban, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.
Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.
Imam Malik bin Anas, Muwatha’, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.
Imam Syafi’i, Musnad Syafii, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Nasaruddin Umar, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-Negara Muslim, makalah, Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010.
Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Maktabah Syamilah versi 16.000 Kitab.
Post a Comment