Aksesories Laptop n Komputer

Nikah Siri; Solusi atau Wujud Ketidakpercayaan Diri? (Part A)

Table of Contents
nikah siri


Tujuan Sebuah Pernikahan

Pernikahan merupakan sunah rasul yang telah menjadi sebuah ikatan dan legalitas untuk memperbolehkannya hubungan badan antara lelaki dan perempuan. Dengan legalitas ini, maka tidak hanya berkonotasi sempit pada sisi nafsu (hubungan badan) semata, tetapi juga mengandung unsur ikatan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan (suami-istri). 

Jika tadinya sebelum terjadinya pernikahan, haram hukumnya hubungan badan antara laki-laki dan perempuan (baca: zina), namun dengan adanya pernikahan maka hal itu diperbolehkan; bahkan mengandung unsur ibadah (walau tetap dalam koridor-koridor etika sesuai yang telah ditetapkan). Dengan terjadinya pernikahan, maka terjadi pula ikatan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan (suami-istri).

Pernikahan, yang diajarkan oleh Islam, juga memberi jalan bagi terpenuhinya hak-hak seorang suami, seorang istri, ataupun anak dan keluarga mereka. Jika pada sebelum ada pernikahan, seorang lelaki (baca: suami) tidak wajib memberi nafkah sang perempuan (baca: istri), maka dengan adanya pernikahan, pemberian nafkah dan tanggung jawab lain menjadi sebuah kewajiban baru bagi suami. 

Ketika penulis mengaitkan antara pernikahan yang telah diajarkan Islam, dengan praktik hubungan lelaki dan perempuan pada era sebelum Islam, maka ajaran Islam memberikan perhatian dan perlindungan penuh bagi pihak-pihak lemah; yang dalam hal ini adalah perempuan dan anak-anak keturunan mereka.

Dengan adanya pernikahan dan kompleksitas aturan di dalamnya, maka seorang lelaki tidak bisa seenaknya untuk merengguk kenikmatan sesaat dari seorang perempuan, lalu melangkah pergi tanpa rasa tanggung jawab atasnya.

Dari alur berpikir di atas, maka penulis berasumsi bahwa tujuan pokok dari pernikahan adalah untuk memberikan legalitas pada sebuah hubungan dengan beberapa aturan dan tanggung jawab yang ada.

Jika demikian, ketika pernikahan ditarik ke masa kini dengan setting tempat di wilayah hukum suatu negara, maka legalitas penikahan mengikuti aturan yang ada pada Negara tersebut; di Indonesia, menyesuaikan dengan aturan pemerintah melalui Kantor Urusan Agama (KUA). 

Terkait dengan masuknya unsur aturan pemerintahan, maka kemudian muncul term “nikah non-resmi” sebagai tandingan dari “nikah resmi” (sesuai dengan aturan pemerintah melalui di KUA). Kemudian, term pertama lebih banyak dikenal di Indonesia dengan istilah “nikah siri”.

Dalam artikel ini, penulis berusaha melakukan kajian reinterpretasi terhadap teks-teks penikahan, khususnya tentang legalitas hukum nikah siri, dengan berusaha menelorkan sebuah paradima berfikir baru atas teks-teks tersebut diinterkoneksikan dengan undang-undang pernikahan di Indonesia.


Nikah Siri; Definisi dan Bentuknya

Pernikahan berasal dari akar kata nikah, yang dalam bahasa arab nakaha. Secara denotasi, kata tersebut berarti dham dan jam‘u yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul.
Sedangkan secara kias diartikan dengan wathi, yang artinya setubuh, atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. 
Kata nikah dalam arti denotasinya (dham) jarang sekali dipakai dalam kehidupan sehari-hari. 

Secara syara’, pernikahan diartikan dengan akad yang intinya mengandung penghalalan merengguk kenikmatan pada wanita dengan jalan bersetubuh, membelai (meraba-raba), mencium, memeluk atau dengan cara yang lain. Selain definisi ini tentu saja masih banyak definisi lain, tetapi penulis tidak membahasnya terlalu detail, karena semua bermuara pada satu makna yaitu ikatan suami-istri.

Sedangkan kata siri berasal dari kata as-sirru yang secara etimologi berarti perkara yang dirahasiakan. Sebagaimana kata ini juga dipakai dalam ayat al-Quran sebagai berikut:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S. al-Baqarah: 235)

Dalam pengertian ini maka nikah siri adalah pernikahan yang dirahasiakan atau tidak diumumkan ke publik. 

Bentuk pernikahan rahasia ini banyak variasinya, antara lain:
1. Pernikahan yang tanpa wali nasab (tanpa diketahui orang tua wanita) dan tanpa saksi.
2. Pernikahan yang dihadiri wali tanpa saksi.
3. Pernikahan dengan wali selain wali nasab (tanpa persetujuan wali nasab) dan tetap ada saksi, namun diminta untuk merahasiakannya.
4. Pernikahan berlangsung dengan syarat-syarat yang lengkap akan tetapi sepakat untuk tidak diberitahukan ke masyarakat luas.
5. Pernikahan yang berlangsung sesuai dengan aturan agama Islam, namun tidak tercatat di KUA.

Dari sekian bentuk dari pernikahan siri, dan kemungkinan perkembangan bentuk lainnya, maka penulis akan fokus pada bentuk pernikahan siri yang kelima, yaitu pernikahan yang secara agama sudah dianggap sah, namun tidak dicatatkan di KUA.

Pernikahan bentuk inilah yang menjadikan dilema, dimana bagi umat Islam di Indonesia terdapat dua otoritas hukum yang dipegangi yaitu hukum syariat Islam dan Undang-Undang Negara.


(Irvan M. Hussein)


>>> Lanjut ke PART B




DAFTAR PUSTAKA


Abdul aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyid Hawwas, Fikih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2009. 

Abdullah Basian, Akibat Hukum Perkawinan Siri (Tidak Dicatatkan) terhadap Kedudukan Istri, Anak, dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan, Tesis, Universitas Diponegoro, tahun 2010.

Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-’Urfi , Riyadh: Dar al-Ishmah, 2005. 

Hilal yusuf Ibrahim, az-Zawaj al-Urfi li al-Muslimiin wa Ghairu al-Muslimin, dar al-Mahbu’at al-Jamiyyah, Iskandaria. Tt.

Ibnu Hibban, Shahih ibnu Hibban, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Malik bin Anas, Muwatha’, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Syafi’i, Musnad Syafii, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Nasaruddin Umar, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-Negara Muslim,  makalah, Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010.

Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Maktabah Syamilah versi 16.000 Kitab.



Post a Comment

Jasa Desain Website Proffessional