Aksesories Laptop n Komputer

Nikah Siri; Solusi atau Wujud Ketidakpercayaan Diri? (Part C)

Table of Contents
sejarah pernikahan nikah siri di jawa


Faktor-Faktor Pendorong Nikah Siri

Ada beberapa faktor atau motif yang melatarbelakangi seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA, diantaranya adalah:

A. Faktor Sosial, yang setidaknya terdiri dari tiga hal:

1. Problem Poligami
Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya.
Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan pernikahan model ini.


2. Undang-Undang Pembatasan Usia Nikah
Dalam suatu Negara, biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.

3. Tempat Tinggal Yang Tidak Menetap
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang digelutinya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.


B. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara, masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

C. Faktor Agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.



Manfaat Pencatatan Akad Nikah

Legalitas pernikahan dengan mencatatkannya sesuai aturan pemerintah, tentu saja memberikan manfaat yang cukup banyak, walaupun, secara hukum Islam, pencatatan itu sendiri tidak membawa dampak pada keabsahan pernikahan. 

Diantara manfaat yang bisa didapatkan dengan pencatatan akad nikah antara lain:
  1. Menjaga hak, baik hak suami, istri atau hak anak yang berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik untuk mendapatkan hak tersebut.
  2. Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
  3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
  4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
  5. Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.

Nikah Siri; dalam Konteks Hukum Indonesia

Sementara ini, para ahli hukum Islam sepakat bahwa pernikahan siri yang dilakukan masyarakat Indonesia sepanjang telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara Islam adalah sah. 
Hal ini juga dipertegas dengan keluarnya fatwa MUI yang menyebut pernikahan siri, dibawah tangan, tidak dicatatkan adalah sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah meski tetap dianjurkan dicatat melalui lembaga negara. 
Bahwa pencatatan nikah bukan termasuk syarat dan rukun nikah adalah suatu bukti, tidak ditemukannya pembahasan ini dalam kitab fiqh konvensional. 
Seiring dengan telah diaturnya mengenai pencatatan pernikahan ini dalam undang-undang, hampir semua negara Islam mewajibkan ketentuan ini menjadi satu bagian dari tata cara pernikahan muslim di berbagai tempat kendati tidak merupakan rukun nikah tetapi dianggap penting untuk pembuktian.

Undang-undang Republik Indonesia tentang perkawinan no. 1 tahun 1974, bab I (dasar perkawinan) pasal 2, menyebutkan:
  1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dari bunyi ayat pertama pasal kedua, maka segala bentuk pernikahan yang sesuai dengan aturan agama dinyatakan sebagai pernikahan yang sah. Kaitannya dengan nikah siri, jika telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan Islam, maka hukumnya sah, secara hukum agama Islam dan sah pula menurut undang-undang negara. 
Namun kerancuan muncul ketika pada ayat berikutnya disebutkan bahwa tiap-tiap pernikahan harus dicatat sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.
Perbedaan pendapat tentang menentukan atau tidaknya pencatatan pernikahan terhadap kesahan pernikahan bersumber pada pemisahan ketentuan tentang keharusan melakukan pernikahan menurut hukum agama dan kepercayaan (agama) di satu pihak dan keharusan mencatatkan pernikahan di pihak lain.
Pencatatan pernikahan memang tidak ditolak bahkan dianggap penting tetapi tidak dianggap sebagai syarat utama sahnya pernikahan.

Undang-undang perkawinan, mengandung pasal-pasal yang kurang jelas. Pasal 2 ayat 2 tidak secara tegas menunjuk kesahan suatu pernikahan. 
Jika dilihat dari teks itu saja, timbul kesan bahwa pencatatan (menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku) hanya sekedar perbuatan administrasi saja sedangkan perkawinannya sudah dilahirkan secara sah saat dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud dalam ayat 1.

Tetapi jika merunut pada Pasal 10 PP No 9/1975, yang mengharuskan pernikahan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, akan terlihat bahwa Pegawai Pencatat memberikan keabsahan terhadap pernikahan. 

Kurang tegasnya ketentuan tentang sah tidaknya pernikahan tanpa pencatatan memberikan peluang bagi penafsiran yang berbeda-beda.
Kalau pernikahan itu diakui sah pada waktu pencatatan, maka pernikahan yang belum dicatat itu dianggap tidak sah secara hukum. 

Kerancuan muncul, sebab jelas UU No. 1/74 melalui Pasal 2 Ayat (1), menentukan sahnya pernikahan pada waktu dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa sahnya pernikahan adalah pada waktu dilangsungkan menurut tatacara masing-masing hukum agama dan kepercayaannya itu. 
Memang Ayat (2) Pasal 2 UU No. 1/74 menentukan: tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Prof. Ibrahim Hosen menganggap sahnya pernikahan ditentukan oleh hukum agama masing-masing, sementara pencatatan adalah masalah sosial. Ali Yafie berpendapat, menikah dengan pencatatan adalah konsekuensi hidup bernegara.
Memang, baik MUI, sebagai wadah umat Islam Indonesia, maupun jumhur ulama, sepakat untuk menganjurkan umat Islam Indonesia untuk mencatatkan pernikahan sesuai aturan perundangan yang berlaku, tapi belum sampai pada keputusan bahwa pencatatan itu berimbas pada sah dan tidaknya sebuah pernikahan. 
Dengan kata lain, nikah siri (tanpa pencatatan di KUA) tetaplah sah secara syariah Islam dan hukum tata Negara Indonesia.


Penutup

Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa nikah siri tanpa pencatatan KUA masih banyak dilakukan di Indonesia sendiri dengan berbagai motif yang telah penulis uraikan. 

Walaupun pencatatan pernikahan adalah aturan pemerintah yang membawa dampak kemanfaatan bagi legalitas sebuah pernikahan dan juga bagi suami, istri, anak serta pihak-pihak terkait, tetapi secara hukum Islam, pencatatan itu tidak mempengaruhi keabsahan dari pernikahan.

Secara hukum Negara, kewajiban pencatatan pernikahan sendiri masih menjadi hal yang perlu dikaji ulang, karena adanya pasal-pasal yang terkesan kontradiktif dan ambigu, sehingga tidak secara tegas ditekankan tentang kewajiban pencatatan akad nikah.
Semoga kajian ini bisa sedikit memberikan pencerahan terhadap kajian serupa di masa depan serta memberikan beberapa manfaat untuk perbaikan hukum Indonesia di masa mendatang, khususnya dalam legalitas pernikahan siri.

(Irvan M. Hussein)


<<< SebelumnyaPart A  dan Part B 



DAFTAR PUSTAKA


Abdul aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyid Hawwas, Fikih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2009. 

Abdullah Basian, Akibat Hukum Perkawinan Siri (Tidak Dicatatkan) terhadap Kedudukan Istri, Anak, dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan, Tesis, Universitas Diponegoro, tahun 2010.

Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-’Urfi , Riyadh: Dar al-Ishmah, 2005. 

Hilal yusuf Ibrahim, az-Zawaj al-Urfi li al-Muslimiin wa Ghairu al-Muslimin, dar al-Mahbu’at al-Jamiyyah, Iskandaria. Tt.

Ibnu Hibban, Shahih ibnu Hibban, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Malik bin Anas, Muwatha’, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Imam Syafi’i, Musnad Syafii, Matabah Syamilah versi 16.000 Kitab.

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Nasaruddin Umar, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-Negara Muslim,  makalah, Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010.

Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.

Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Maktabah Syamilah versi 16.000 Kitab.


Post a Comment

Jasa Desain Website Proffessional