Aksesories Laptop n Komputer

Unsur Kesahihan Sanad Sebuah Hadis

Table of Contents
Pada artikel Sebelumnya, kita sudah belajar tentang Unsur-unsur utama (Kaidah Mayor) yang harus dipenuhi dalam Sanad Hadis, untuk dapat masuk dalam kategori Hadis Shahih.

Nah, kali ini, kita akan belajar lebih detail, atau disebut sebagai Kaidah Minor.

kesahihan sebuah hadis , sanad hadis shahih sahih soheh sohih
Kaidah Kesahihan Sanad Hadis

Sanad Bersambung

Yang dimaksud dengan sanad yang bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya dan keadaan ini berlangsung demikian hingga akhir sanad hadis itu. Jadi seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi, semuanya bersambung dalam periwayatan.

Untuk mengetahui bersambung tidaknya sebuah rangkaian sanad dalam suatu hadis, para muhaddisin biasanya menempuh langkah-langkah studi sanad sebagai berikut:
  • Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
  • Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui berbagai kitab terkait, seperti Tahdzibu at-Tahdzib karya Imam Ibnu Hajar al-Ashqalani atau kitab-kitab lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui derajat keadilan dari para rawi, mengetahui hubungan antara para rawi yang terdekat, baik dari segi kesezamanan, serta untuk mengetahui guru-guru dan murid-murid dari para rawi dalam periwayatan.
  • Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi, seperti penggunaan kata haddasana, akhbarana, 'an, atau kata-kata yang lainnya.
Suatu sanad dapat dikatakan bersambung apabila: 
  • seluruh periwayat dalam rangkaian sanad hadis berstatus tsiqqah, dan 
  • antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah, sesuai dengan ketentuan tahammul wal ada'.

Jadi dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur minor dalam sanad bersambung adalah muttasil dan marfu'.

Periwayat Bersifat Adil

Terjadi banyak perbedaan dalam menentukan keadilan seorang rawi. Hafidz Hasan al-Mas'udi dalam kitabnya menyatakan bahwa yang dimaksud adilnya seorang rawi adalah perawi itu seorang muslim, balig, 'akil, tidak pernah melakukan dosa besar dan menghindari dosa kecil, dan menjaga muru'ah seperti makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki, atau tidak memakai penutup kepala. Jadi seorang yang fasiq dan orang bodoh tidak dapat masuk dalam kriteria adil

Syuhudi Ismail dalam bukunya merangkum lima belas pendapat para ahli hadis dan para ahli fiqh serta ushul dalam menentukan syarat adil bagi seorang rawi. Para ulama yang beliau teliti antara lain:

  • Imam al-Hakim an-Naysaburi (wafat 405 H/ 1014 M)
Al-Hakim mengajukan tiga syarat dalam menentukan keadilan seorang rawi yaitu: (1) beragama Islam, (2) tidak berbuat bid'ah, dan (3) tidak berbuat maksiat.
  • Ibnu as-Shalah (wafat 643 H/ 1245 M)
Ada lima syarat yang diajukan yaitu: (1) beragama Islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) memelihara muru'ah, (5) tidak berbuat fasik.
  • Imam an-Nawawi (wafat 676 H/ 1277 M)
Seperti Ibnu as-Shalah Imam Nawawi mensyaratkan lima hal, yaitu: (1) beragama Islam, (2) balig, (3) berakal, (4) memelihara muru'ah, (5) tidak berbuat fasik.
  • Ibnu Hajar al-'Asyqalani (wafat 852 H/ 1499 M)
beliau juga mengajukan lima hal, tetapi sedikit berbeda dengan dua ulama di atas. Syarat beliau antara lain: (1) taqwa, (2) memelihara muru'ah, (3) tidak berbuat dosa besar, (4) tidak berbuat bid'ah, (5) tidak berbuat fasik.
  • Al-Harawi (wafat 873 H/ 1470 M)
Beliau mempunyai syarat yang sama dengan Ibnu as-Shalah dan Imam Nawawi, yaitu: (1) beragama Islam, (2) balig, (3) berakal, (4) memelihara muru'ah, (5) tidak berbuat fasik.
  • As-Syaukani (wafat 1250 H/ 1834 M)
Ada lima syarat yang beliau ajukan, (1) taqwa, (2) memelihara muru'ah, (3) tidak berbuat dosa besar, (4) menjauhi dosa kecil, (5) meninggalkan perkara mubah yang bisa merusak muru'ah.
  • Muhammad Mahfudz at-Tirmasiy (wafat 1329 H)
Beliau mensyaratkan lima hal, antara lain: (1) memelihara muru'ah, (2) tidak berbuat dosa besar, (3) menjauhi dosa kecil, (4) tidak berbuat bid'ah, (5) tidak berbuat fasik.
  • Ahmad Muhammad Syakir (tidak diketahui tahun wafatnya)
Mensyaratkan enam hal, antara lain: (1) beragama Islam, (2) balig, (3) berakal, (4) memelihara muru'ah, (5) tidak berbuat fasik, (6) dapat dipercaya beritanya.
  • Nur ad-Din 'Itr
Beliau mempunyai tujuh kriteria, yaitu: (1) beragama Islam, (2) balig, (3) berakal, (4) taqwa, (5) memelihara muru'ah, (6) tidak berbuat dosa besar, (7) menjauhi dosa kecil.
  • Muhammad 'Ajjaj al-Khatib
Empat hal yang menjadi kriteria beliau adalah (1) memelihara muru'ah, (2) teguh dalam agama, (3) tidak berbuat fasik, (4) baik akhlaknya.
  • Imam al-Ghazali (wafat 505 H/ 1111 M)
Imam al-Ghazali juga mensyaratkan kriteria dalam penentuan keadilan seorang rawi, yaitu: (1) taqwa, (2) memelihara muru'ah, (3) tidak berbuat dosa besar, (4) menjauhi dosa kecil, (5) menjauhi hal-hal mubah yang dapat merusak muru'ah.
  • Ibnu Qudamah (wafat 620 H/ 1223 M)
Empat kriteria yang ditetapkan oleh Ibnu Qudamah, yaitu: (1) memelihara muru'ah, (2) teguh dalam agama, (3) tidak berbuat dosa besar, (4) menjauhi dosa kecil.
  • Al-Amidi (wafat 631 H/ 1233 M)
Imam al-Amidi menetapkan empat syarat yang hampir sama dengan ulama-ulama sebelumnya, antara lain: (1) memelihara muruah, (2) tidak berbuat dosa besar, (3) menjauhi dosa kecil, (4) menjauhi hal-hal mubah yang dapat merusak muru'ah.
  • 'Ali bin Muhammad al-Jurjani (wafat 816 H/ 1413 M)
Beliau juga mempunyai empat kriteria, yaitu: (1) memelihara muru'ah, (2) tidak berbuat dosa besar, (3) menjauhi dosa kecil, (4) biasanya benar.
  • Muhammad al-Khudhari Bik (wafat 1927 M)
Seperti tiga ulama sebelumnya, beliau menetapkan empat hal, yaitu: (1) taqwa, (2) memelihara muru'ah, (3) tidak berbuat dosa besar, (4) menjauhi dosa kecil.

Dari apa yang tertulis di atas, kita melihat ada lima belas hal pokok yang ditetapkan oleh lima belas ulama di atas. Kelima belas hal itu ialah
  1. Beragama Islam
  2. Balig
  3. Berakal
  4. Taqwa
  5. Memelihara muru'ah
  6. Teguh dalam agama
  7. Tidak melakukan dosa besar
  8. Menjauhi dosa kecil
  9. Tidak berbuat bid'ah
  10. Tidak berbuat maksiat
  11. Tidak berbuat fasik
  12. Meninggalkan hal-hal mubah yang dapat merusak muru'ah
  13. Baik akhlaknya
  14. Dapat dipercaya beritanya
  15. Biasanya benar

Dari poin-poin di atas, kita dapat melakukan peringkasan, antara lain: 
  • poin 2 (balig) dan 3 (berakal) menjadi mukallaf. 
  • Poin 12 (meninggalkan perkara mubah yang dapat merusak muru'ah) dapat dimasukkan semua dalam poin 5 yaitu memelihara muru'ah. 
  • Sedangkan untuk poin 6 (teguh dalam agama), 7 (tidak melakukan dosa besar), 8 (menjauhi dosa kecil), 9 (tidak berbuat bid'ah), 10 (tidak berbuat fasik), 11 (tidak berbuat maksiat), serta 13 (baik akhlaknya) semuanya dapat dijadikan satu istilah yaitu melaksanakan ketentuan agama. 
  • Untuk poin 4 (taqwa) sudah dijabarkan dalam poin 7, 8, 11 sehingga tidak perlu dicantumkan lagi. 
  • Dua poin terakhir 14 (dapat dipercaya) dan 15 (biasanya benar) juga tidak perlu dieksplisitkan karena keduanya sudah termasuk implikasi dari syarat-syarat yang ada.

Jadi dapat kita semua simpulkan bahwa unsur kaidah minor untuk periwayat yang adil ada empat, yakni
  • beragama Islam, 
  • mukallaf, 
  • melaksanakan ketentuan agama dan 
  • memelihara muru'ah.

Periwayat bersifat dhabit

Dalam studi sanad hadis, ada dua istilah untuk menyatakan ke-dhabit-an seorang rawi. Yang pertama ialah dhabit yaitu orang yang kuat hafalannya dan mampu menyampaikan apa yang didengarnya kapan saja ia menghendakinya. 
Lalu yang kedua dikenal juga istilah ad-dhabit at-tamm yaitu seorang rawi yang tidak hanya kuat hafalannya tetapi juga memahami benar apa yang didengarnya dan dapat menyampaikannya kepada orang lain kapan saja ia menginginkannya.

Jadi secara umum kita bisa menarik unsur kaidah minor untuk ke-dhabit-an seorang rawi, yaitu 
  • hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, dan 
  • mampu menyampaikan hadis yang diterimanya kepada orang lain.


Terhindar dari syadz dan 'illat

Yang dimaksud syadz  atau syudzudz dalam sebuah hadis ialah berbedanya riwayat seorang rawi yang tsiqqah terhadap riwayat rawi-rawi lain yang juga tsiqqah dengan adanya ziyadah (tambahan) atau pun naqsh (pengurangan) baik itu di dalam sanad maupun matan. 
Pendapat ini sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan diikuti oleh Ibnu as-Shalah dan Imam Nawawi.

Sedangkan 'illat hadis yang dimaksud dalam pembahasan ini ialah sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis; hadis yang tadinya tampak sahih menjadi tidak sahih. 'Illat di sini bukanlah sebuah sebab cacatnya hadis yang berupa lemahnya hafalan seorang rawi atau rawi yang dianggap pendusta, melainkan oleh bentuk-bentuk khusus yang sulit dideteksi tanpa penelitian yang lebih mendalam, yang diantaranya:
  • Sanadnya tampak muttasil dan marfu' setelah diteliti lagi ternyata muttasil tapi mauquf.
  • Sanad yang tampak muttasil dan marfu' ternyata muttasil tapi mursal (hanya sampai pada tabi'in).
  • Terjadi percampuran dengan bagian hadis lain.
  • Terjadi salah penyebutan periwayat, karena ada banyak periwayat yang mempunyai kesamaan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama tsiqqah



1 comment

Mohon Gunakan Kalimat yg Bijak untuk Berkomentar
Comment Author Avatar
Anonymous
Saturday, 18 June, 2022 Delete
rumit juga ya.. sekarang banyak yg ngomong hadis, tpi kaga tau ilmunya
Jasa Desain Website Proffessional