Joseph Schacht; The Origins of Muhammadan Jurisprudence
Table of Contents
Para pengkaji hadis, tentu sedikit banyak pernah mendengar tentang sosok orientalis yang satu ini.Ia lahir di Jerman pada 15 Maret 1902, dan banyak mendalami filologi klasik serta bahasa-bahasa dunia timur di Universitas Leipzig.
Joseph Schacht kemudian menjadi terkenal setelah menulis sebuah buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950.
Schacht, secara umum melakukan studi kritis terhadap keaslian hadis - hadis Nabi, terutama dalam kitab - kitab hadis primer, seperti al-Muwatho' Karya Imam Malik dan Al-Umm karya Imam Syafi'i.
Buku ini, sedikit banyak merepresentasikan, pandangan Barat terhadap hadis, yang hanya dianggap sebagai "dokumen sejarah", dan sarat akan bias kepentingan; tergantung siapa dan apa tujuannya.
Buku ini, sedikit banyak merepresentasikan, pandangan Barat terhadap hadis, yang hanya dianggap sebagai "dokumen sejarah", dan sarat akan bias kepentingan; tergantung siapa dan apa tujuannya.
Riwayat Hidup Schacht
Joseph Schacht, meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun. Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar.Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir.
Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris.
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris.
Ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita setempat. Bahkan pada tahun 1947 ia resmi menjadi warga negara Inggris.
Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya.
Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor Doktor, di Inggris ia justru belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952).
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Leiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959.
Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960.
Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi.
Pola Pemikiran Schacht
Pertama,
Secara historis, hadis yang tersebar di kitab-kitab yang selama ini menjadi pegangan umat Islam bisa dipastikan berasal dari abad ke-2 H. Menurut Schacht hal ini merujuk kepada praktik sarjana Muslim dimana mulai menggunakan secara sistematis hadis sebagai dokumen-dokumen perkembangan doktrin hukum.
Hal ini bisa dilacak dengan meneliti pertumbuhan hadis hukum pada periode kodifikasi, kira-kira sejak 150 H hingga 250 H, antara Abu Hanifah dan koleksi-koleksi hadis klasik, dengan sedikit meluas pada paruh pertama abad ke-2 H.
Menurut Schacht, hadis yang terdapat dalam koleksi-koleksi klasik dan koleksi lainnya beredar hanya setelah masa Imam Syafii.
Schacht menggambarkan,
“... a great many traditions in the clasical and other collections were put into circulation only after Shafi'i’s time.”
Ada suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian yang serius, dimana kumpulan hadis pertama yang benar-benar merupakan kumpulan hadis hukum yang berasal dari Nabi baru muncul menjelang pertengahan abad ke-2 H. Padahal hadis-hadis yang berasal dari para Sahabat dan Tabi’in, dan juga ‘tradisi yang hidup” (living tradition), sedikit lebih dahulu kemunculannya daripada hadis-hadis yang berasal dari Nabi.
Kedua,
Kedua,
Memandang hadis-hadis yang berasal dari Sahabat dan otoritas lainnya dalam perspektif yang sama dengan hadis-hadis yang berasal dari Nabi.
Schacht menulis,
“... traditions from Companions and other authorities underwent the same process of growth, and are to be considered in the same light, as traditions from the Prophet.”
Hadis dari Sahabat dan otoritas-otoritas yang lain mengalami proses perkembangan yang sama, dan harus dipandang dalam perspektif yang sama, sebagaimana hadis dari nabi.”
Dalam penelusurannya, Schacht menemukan bahwa mazhab-mazhab pendahulu Syafi’i (baca: mazhab kuno) masih banyak yang belum mengakui keunggulan mutlak hadis-hadis yang berasal dari Nabi.
Dalam penelusurannya, Schacht menemukan bahwa mazhab-mazhab pendahulu Syafi’i (baca: mazhab kuno) masih banyak yang belum mengakui keunggulan mutlak hadis-hadis yang berasal dari Nabi.
Hal ini terbukti dengan kebanyakan mereka mengajukan hujjah dengan merujuk kepada hadis-hadis yang berasal dari para Sahabat dan Tabi’in.
Sementara Syafi’i sendiri telah berusaha mempromosikan sesuatu yang tidak populer pada masanya, yaitu merujuk hadis-hadis yang bersumber dari Nabi dalam berhujjah. Apa yang dilakukan oleh Syafi’i adalah sebuah, meminjam istilah Schacht, inovasinya yang sangat sistematis.
Ketiga,
Kajian tentang isnad memungkinkan kita untuk menemukan masa munculnya hadis-hadis. Menurut Schacht, kajian tentang isnad ini memperlihatkan suatu kecenderungan untuk tumbuh ke belakang dan mengklaim otoritas yang semakin kuat hingga sampai kepada Nabi (baca: projecting back). Ketiga,
Schacht menulis:
“... the study of isna>ds often enables us to date traditions; the isna>ds show a tendency to grow bacwards and to claim higher and higher authority until they arrive at the Prophet.”
Adapun bukti-bukti berupa hadis-hadis hukum, jelas Schacht, hanya bisa dirunut sampai pada sekitar 100 H saja, dimana pada saat itulah bermulanya pemikiran hukum Islam yang berasal dari praktik popular dan administratif dinasti Umayyah akhir, yang masih terfleksi dalam banyak hadis.
Keempat,
Schacht mencatat bahwa Madinah yang selama ini dianggap merupakan tempat asal-usul sunnah, dimana pendapatnya (baca: mazhab Madinah) dianggap lebih ketat dan mendalam dalam hal hukum, ternyata tidak bisa dibuktikan.
Menurut Schacht tidak ada perbedaan yang signifikan antara mazhab-mazhab, Madinah, Iraq, dan Syria dalam sikap mereka terhadap praktik-praktik populer maupun terhadap regulasi-regulasi administratif dinasti Umayyah.
Schacht menulis:
Dengan demikian, maka yang kelima,
“There was no essential difference between the Medinese and the Iraqians, the Syrians, in their general attitude both to Umaiyad popular and to Umaiyad administrative regulations, and their several reactions to each particular problem were purely fortuitous, whether they endorsed, modified, or rejected the practise which they found. We sometimes find the Iraqians stricter and more critical of Umaiyad practise than the Medinese, and the Medinese more dependent on the practise than the Iraqians.”“Sama sekali tidak ada perbedaan mendasar antara mazhab Madinah dan mazhab Iraq, atau mazhab Syria, dalam sikap umum mereka terhadap praktik-praktik populer dinasti Umayyah maupun terhadap regulasi-regulasi adminintratif Umayyah, dan beberapa reaksi mereka atas tiap-tiap persoalan tertentu adalah semata-mata murni kebetulan, apakah mereka mendukung, memodifikasi, atau menolak prakti-praktik yang mereka jumpai. Kita kadang-kadang justru mendapati mazhab Iraq lebih ketat dan lebih kritis terhadap praktik Umayyah dibandingkan dengan mazhab Madinah, dan mazhab Madinah lebih bergantung pada praktik daripada mazhab Iraq.”
Dengan demikian, maka yang kelima,
Schacht menarik sebuah kesimpulan bahwa apa saja yang terkait dengan hadis pada masa pra-kodifikasi harus ditolak sampai ditemukan bukti-bukti yang membenarkannya.
Schacht menyebutkan,
“We must therefore suspect on principle statements which refer to the pre-literary period unless they are verified; and they can be verified with the help of method which I have endeavoured to work out and to put to the test the test in Part II of this book.
“Oleh karena itu, kita harus mencurigai pernyataan-pernyataan mendasar yang merujuk kepada periode pra-kodifikasi, kecuali pernyataan-pernyataan itu telah terbukti benar; dan pernyataan-pernyataan itu dapat dibuktikan dengan bantuan metode dimana saya telah berusaha keras untuk menyusunnya dan mengujinya dalam bagian kedua dari buku ini
(Besambung......)