Aksesories Laptop n Komputer

Pintu Gerbang Majapahit; Kisah Keteguhan Raden Bambang Kebo Anabrang

Table of Contents
Ketika Sobat Santri, mencari tentang Pintu Gerbang Majapahit di google, maka hampir bisa dipastikan, pada halaman awalnya, semua akan menuju pada 1 titik, yaitu sebuah Pintu Kayu Jati, dengan fragmen Ukiran menawan, yang berada di Dukuh Rendole, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati.

Pintu yang seukuran pintu sebuah Ruangan inilah yang disebut sebagai Gerbang Majapahit dan telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya dengan No SK : 556/2730 pada Tanggal 29 Juni 2016.

pintu kaputren bajang ratu

Raden Bambang Kebo Anabrang

Pintu Gerbang Majapahit ini tak bisa dipisahkan dari Kisah perjalanan Raden Bambang Kebo Anabrang. Siapakah Beliau?
Beliau adalah pemuda tangguh dan pendekar pilih tanding, putra dari pasangan Sunan Muria dan Rara Hapsari, putri dari Ki Ageng Seba Manggala.

Sunan Muria dikenal sebagai salah satu Wali Sanga yang tinggal di Gunung Muria. Menurut Habib Lutfi Pekalongan, nama Sunan Muria adalah Raden Umar Haji putra dari Sayyid Utsman Haji yang makamnya berada di Pulau Mandalika. 

Perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan Sayyid Utsman Haji di atas bukanlah Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus ya Sobat. Jadi perlu dibedakan, biar kagak salah paham. Karena tentu saja banyak kesamaan nama di dunia. 😀

Ketika muda, Sunan Muria berguru pada Sunan Ngerang Juwana, dan kemudian diangkat menantu oleh Sunan Ngerang. Sunan Muria menikahi Putri Ketiga Sunan Ngerang Bernama Rara Yana (Rara Nayarana). 
Tentang Sunan Ngerang dan Nyi Ageng Ngerang, bisa Sobat Santri baca pada artikel berikut.

Pola dakwah Sunan Muria pun terbilang unik. Walaupun memiliki padepokan di Gunung Muria, Sunan Muria sering turun gunung untuk berdakwah, bahkan hingga keluar wilayah Kadipaten Pati.

Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari dakwahnya dari arah timur, menuju Gunung Muria, Sunan Muria terhalang oleh banjir besar. Melihat besarnya banjir tersebut, Sunan Muria berujar, barang siapa yang menolongnya menyebrang, jika seorang pria akan diangkat saudara, dan jika perempuan akan dijadikan istri.

Singkat cerita, muncullah sosok Rara Hapsari membawa seekor kerbau. Dengan menunggangi kerbau tersebut, Sunan Muria berhasil melewati banjir yang menghadang. Untuk menepati janjinya, maka Sunan Muria pun menikahi Rara Hapsari.

Karena tugas dakwah, Sunan Muria pamit dan meninggalkan Rara Hapsari untuk melanjutkan misi dakwahnya ke wilayah lainnya. Sementara itu Rara Hapsari tinggal di Padepokan sang Ayah, Ki Ageng Seba Manggala.

Dari pernikahan dengan Sunan Muria, Rara Hapsari melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Bambang Kebo Anabrang. Pemberian nama Kebo Anabrang adalah sebagai pengingat kisah pertemuan Rara Hapsari dengan Sunan Muria. 

Kebo (bahasa Jawa dari Kerbau) mengingatkan pada kerbau yang ditunggangi oleh Sunan Muria. Anabrang (Anabrangaken / Menyeberangkan) mengingatkan pada kisah bagaimana Sunan Muria diseberangkan melewati banjir yang menghadang.

Raden Kebo Anabrang kecil diasuh oleh ibu dan kakeknya, tanpa mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Ia belajar keagamaan dan kedidgdayaan dari sang Kakek, Ki Ageng Seba Manggala. Kata Manggala, jelas merujuk pada seorang Ksatria pilih tanding. Sampai sekarang kata Manggala, sering digunakan untuk nama-nama yang berhubungan dengan keprajuritan. Dahulu manggala mengisyaratkan seorang pimpinan prajurit atau panglima.

tanda pengenal pasukan majapahit



Dengan demikian, maka bisa dipastikan bahwa Ki Ageng Seba Manggala, merupakan seorang pendekar pilih tanding dengan tingkat kedigdayaan yang tinggi. Konon, Beliau berasal dari Wilayah Kediri. Ki Ageng Seba Manggala muda merupakan salah satu pimpinan Prajurit Majapahit yang bertugas dan akhirnya menetap di wilayah Kadipaten Pati. 

Dengan bimbingan kakeknya inilah, di kemudian hari, Raden Bambang Kebo Anabrang, tumbuh menjadi sosok pemuda dengan ilmu kanuragan yang mumpuni.

Permintaan Nyai Ageng Ngerang

Kembali pada Kisah Sunan Muria. Dikisahkan bahwa sebelum Sunan Muria dinikahkan dengan Rara Yana, Sunan Muria mendapatkan permintaan dari calon Ibu Mertuanya, sekaligus Istri dari Gurunya yaitu Nyai Ageng Ngerang. Permintaan itu adalah untuk memindahkan Pintu Kaputren Bajang Ratu dari Trowulan, Mojokerto, ke wilayah Kadipaten Pati.

Bajang Ratu merupakan sebuah wilayah yang disebut sebagai "Pintu Belakang" Kerajaan Majapahit. Sekarang, masih berdiri kokoh Candi Bajang Ratu yang juga telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

Sobat Santri, saya sendiri belum mengetahui alasan dari permintaan  Nyai Ageng Ngerang tersebut. Tapi yang pasti, Nyai Ageng Ngerang adalah Trah Majapahit. Beliau bernama Siti Rohmah, dan dikenal juga dengan Nyai Juminah. Sebutan Nyai Ageng Ngerang, disandangnya karena menjadi istri dari Ki Ageng Ngerang.

Nyai Ageng Ngerang adalah putri dari Raden Bondan Kajawan, putra dari Prabu Brawijaya V. Jadi Nyi Ageng Ngerang adalah Cucu dari Prabu Brawijaya V. 

Mungkin, ada alasan kuat, mengapa beliau meminta pemindahan Pintu Kaputren tersebut ke Pati.
Bisa jadi, menurut dugaan saya pribadi, pemindahan pintu kaputren Majapahit itu menjadi simbol, bergesernya kekuasaan dari Jawa Timur (Pusat Pemerintahan Majapahit) ke Jawa Tengah (Pemerintahan Kasultanan Demak). 

Pertemuan Raden Kebo Anabrang dan Sunan Muria

Setelah menginjak dewasa, Raden Kebo Anabrang pun ingin mengetahui siapa ayahnya. Ia bertanya kepada sang Ibu, siapa ayahnya dan mendapatkan fakta, bahwa ia adalah Putra dari Sunan Muria.

Segera, tanpa didampingi oleh Ibu dan Kakeknya, Raden Kebo Anabrang, berangkat ke Muria menemui Ayahnya. Singkat cerita, setelah terjadi pertemuan, Sunan Muria memberikan amanah, untuk memboyong pintu Kaputren Bajang Ratu ke Padepokan Muria.

Mendengar amanah dari Sunan Muria tersebut, Raden Kebo Anabrang pun berbegas menuju ke Trowulan. Majapahit, walaupun sudah runtuh tetap saja masih mempunyai pasukan khusus yang menjaga wilayah - wilayah kerajaan. Namun berbekal kesaktiannya, Raden Kebo Anabrang berhasil mengambil Pintu Kaputren tersebut dari Trowulan.

Dikisahkan, bahwa untuk membawa Pintu Kaputren yang lumayan besar tersebut, Raden Kebo Anabrang dibantu oleh pasukan Jin. Para Jin bertugas untuk memanggul Pintu dari Trowulan menuju Gunung Muria.

Perebutan Pintu Gerbang Majapahit

Sementara itu, Raden Rangga, salah satu murid Sunan Ngerang, hendak mempersunting Putri Sunan Ngerang yang terakhir, yaitu Rara Pujiwat. Sebagaimana, permintaan Nyai Ageng Ngerang pada Sunan Muria ketika hendak dijadikan menantu, Nyai Ageng  Ngerang pun, memberikan syarat kepada Raden Rangga, untuk membawa Pintu Kaputren Bajang Ratu.

Demi memenuhi syarat tersebut, Raden Rangga pun berangkat menuju Trowulan. Ia kecewa, karena ternyata pintu kaputren Bajang Ratu, sudah diambil oleh orang lain. Dengan segenap kesaktiannya, Raden Rangga mencari keberadaan pintu tersebut dan berhasil mengejar Raden Kebo Anabrang.

Permintaan Raden Rangga, untuk menyerahkan Pintu Kaputren Bajang Ratu, tentu saja ditolak oleh Radeng Kebo Anabrang. Masing - masing bersikeras dengan tujuannya. Raden Rangga dengan tujuan menjadikan Pintu tersebut untuk syarat mempersunting Rara Pujiwat, sedangkan Raden Kebo Anabrang dengan tujuannya untuk memenuhi permintaan Sunan Muria.

Pertempuran pun tak terhindarkan. Dua pemuda sakti saling beradu kedigdayaan untuk memperebutkan pintu kaputren Bajang Ratu. Adu kesaktian pun berjalan cukup panjang dan berhari - hari, tanpa menunjukkan siapa yang akan jadi pemenangnya. Pertempuran keduanya berlangsung di wilayah yang sekarang masuk dalam Dukuh Rendole, Desa Muktiharjo.

Sunan Muria, yang mengetahui kejadian ini, segera turun Gunung menuju lokasi perkelahian itu. Dari suatu daerah di lereng Muria yang konturnya cukup tinggi, Sunan Muria bisa melihat jelas, pertempuran antara Raden Rangga dan Raden Kebo Anabrang.

Daerah itu sekarang bernama Trowelo, yang konon diambilkan dari kata "cetho welo - welo" (tampak sangat jelas). Trowelo, saat ini berada di Jalan Pati - Gembong, masuk dalam Desa Wonosekar, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati.

Sunan Muria pun segera berbegas turun dan melerai pertempuran kedua pemuda itu. Dengan kebijaksanaanya, Sunan Muria memutuskan bahwa Pintu Kaputren itu untuk tetap berada di tempat pertempuran. Sebagai bukti bahwa Raden Rangga juga telah berusaha untuk memenuhi syarat untuk mengambil pintu Kaputren, ia diberi Pengunci Pintu, yang terbuat dari batang kayu 

Raden Rangga pun diminta untuk kembali ke Padepokan Juwana untuk menemui Rara Pujiwat membawa Pengunci Pintu tersebut. 

majapahit gate 1935

Kondisi Pintu Gerbang Majapahit tahun 1935
Tanpa Pengunci Pintu

Rara Pujiwat, Putri Ki Ageng Ngerang

Sama seperti kedua kakaknya, putri terakhir pasangan Sunang Ngerang dan Nyi Ageng Ngerang inipun berparas menawan. 

Putri tertua, Rara Kinasih, menjadi Istri dari Ki Ageng Sela, yang juga masih keponakan dari Nyai Ageng Ngerang. Dari pernikahan ini melahirkan seorang Ulama Besar, yaitu Ki Ageng Ngenis, yang merupakan salah satu Guru dari Jaka Tingkir

Ki Ageng Ngenis pun akhirnya menurunkan para raja Mataram Islam, yang sekarang menjadi Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).

Putri Kedua, juga berparas Jelita, yaitu Rara Nayarana, menjadi Istri dari Sunan Muria, melahirkan Raden Kembang Jaya (Raden Jaya Kusuma / Raden Kusuma Jaya). Rara Nayarana ini pernah menjadi rebutan para Murid Senior dari Sunan Ngerang.

Nah, Rara Pujiwat adalah anak terakhir dari Sunan Ngerang. Seperti para saudarinya, Rara Pujiwat, juga menarik para Murid Sunang Ngerang, diantaranya adalah Raden Rangga Jaya putra dari Adipati Cakra Jaya.

Adipati Cakra Jaya merupakan pemimpin di daerah Tanjung Pura, yang sekarang menjadi Desa Jepuro, wilayah Kecamatan Juwana. Beliau merupakan Murid Tertua dari Sunan Ngerang dan dikenal juga memiliki kesaktian yang luar biasa.

Sebagai syarat untuk menikahi Rara Pujiwat, Raden Rangga diharuskan memboyong Pintu Kaputren Bajang Ratu ke Padepokan Pakuwon Juwana milik Sunan Ngerang.

Seperti telah diceritakan sebelumnya, Raden Rangga hanya mendapatkan Pengunci Pintu dan dengan berat hati membawanya kepada Rara Pujiwat.

Melihat persyaratan yang tidak utuh, Rara Pujiwat merasa keberatan. Hal ini membuat Raden Rangga yang baru saja bertempur melawan Raden Kebo Anabrang, menjadi kehilangan kesabaran dan dengan tidak sengaja melemparkan pengunci pintu itu ke Rara Pujiwat.

Lemparan yang diiringi dengan kesaktian dari Raden Rangga menimbulkan suara menggelegar dan membuat suasana di sekitar menjadi gelap gulita. Karena lemparan tersebut, Rara Pujiwat meninggal dunia. Daerah sekitar kemudian dikenal dengan nama Segelap, dan sekarang terdapat sebuah jembatan yang disebut dengan Jembatan Segelap. 

raden ayu pujiwat juwana


Sedangkan Rara Pujiwat akhirnya di makamkan di tempat tersebut yang sekarang berada di tepi jalur pantura, masuk wilayah desa Growong Lor, Kecamatan Juwana. Untuk menuju lokasi silakan ikuti Google Maps.

Asal Mula Dukuh Rendole

Kembali pada Pintu Kaputren Bajang Ratu. Karena terjadi pertempuran antara Raden Rangga Jaya dan Raden Kebo Anabrang, maka Sunan Muria, memutuskan untuk tidak membawa Pintu Kaputren tersebut ke Padepokan Muria.

Pintu Kaputren itu dibiarkan oleh Sunan Muria berada di tempat terakhirnya. Lokasi tersebut pada kemudian hari dikenal dengan nama Dukuh Rendole

Penamaan ini berasal dari ucapan Sunan Muria, "Karon padha Bandhole" (Kalian berdua sama Hebatnya). Kemudian disingkat menjadi Ron-Dole, dan oleh masyarakat sekitar disebut Rendole. 

Raden Kebo Anabrang pun diminta oleh Sunan Muria untuk menjaga Pintu Kaputren tersebut dan sampai akhir hayatnya, Raden Kebo Anabrang berada di sana.

Pintu Kaputren itu akhirnya dikenal dengan nama Pintu Gerbang Majapahit. Lokasi keberadaan Pintu Gerbang Majapahit ini menjadi lokasi yang dihormati oleh masyarakat.

Pintu Gerbang Majapahit menjadi Sentra Kegiatan budaya lokal, seperti Sedekah Bumi. Penyelenggaraan Wayang Kulit, merupakan salah satu kegiatan yang diselenggarakan pada malam puncak perayaan sedekah bumi desa Muktiharjo.

Wayang Kulit, dipercaya sebagai salah satu pertunjukan yang digemari oleh Raden Kebo Anabrang. Untuk menghormati beliau dan untuk menjaga agar generasi muda tidak kepaten obor (tidak melupakan sejarah) maka pergelaran Wayang Kulit dijadikan sebuah pertunjukan tahunan di Desa Muktiharjo.

Raden Kebo Anabrang yang sampai akhir hayatnya tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan, tetap dianggap sebagai sesepuh dan leluhur mulia di Desa Muktiharjo, khususnya di wilayah Dukuh Rendole. 

Kisah keberanian dan keteguhan tekad beliau untuk mengemban tugas serta amanah dari Ayahnya, Sunan Muria, menjadi pelajaran berharga bagi kalangan muda setempat. Bagaimana pengabdian seorang anak terhadap perintah orang tua, keteguhan seorang pemuda untuk menjaga amanah, hingga bagaimana keberanian Raden Kebo Anabrang, sepatutnya menjadi suri tauladan bagi generasi muda; tidak hanya bagi warga Rendole, tapi juga bagi kita semua.

Pergelaran Wayang Kulit dalam Perayaan Sedekah Bumi
Desa Muktiharjo Tahun 2022

Akhir Kata dan Cerita

Tulisan yang saya buat ini, bukanlah sebuah Ilmu yang keluar dari Seorang Guru. Saya sadar, saya hanya pelajar kelas dasar; bahkan mungkin masih di bawahnya dasar (Setingkat PAUD hi hi hi).
Banyak sekali kekurangan dalam teknik penulisan, pemilihan kata dan tentu saja, terutama pada perujukan sejarah dan kisah.

Namun, saya pribadi berharap, setidaknya tulisan ini bisa menjadi penyemangat bagi para generasi muda, untuk mulai mengenal dan mengeksplorasi potensi budaya, sejarah dan keilmuan lainnya di daerahnya masing - masing.

Masukan serta saran, merupakan hal yang saya harapkan; baik dari Sobat Santri maupun dari para ahli.
Silakan tuliskan pada kolom komentar dan semoga, bisa menambah wawasan untuk kita semua.

Terima Kasih sudah membaca sampai akhir,

Salam 
Irvan Maria Hussein, Rendole


Lampiran

pintu kaputren bajang ratu


2 comments

Mohon Gunakan Kalimat yg Bijak untuk Berkomentar
Comment Author Avatar
Anonymous
Saturday, 23 December, 2023 Delete
Pada kisah lainnya...kebo anbrang tewas ditangan lembu Sora, sedikit kurang nyambung denngan teks diatas
Comment Author Avatar
Anonymous
Monday, 25 December, 2023 Delete
Maaf, sy rasa itu beda tokoh kak.. yg kaka maksud adalah Kebo Anabrang salah satu tokoh dalam pergolakam Singosari dan Majapahit.. beda Thobaqat waktu, dngn Kebo Anabrang putra Sunan Muria
Jasa Desain Website Proffessional