Aksesories Laptop n Komputer

Perubahan Bentuk Fisik Wayang di Nusantara

Table of Contents
Contoh Wayang Beber, Dokumentasi Suara Merdeka Solo

Wayang dari bentuknya yang sederhana kemudian menjadi bentuk yang sekarang ini  telah mengalami perkembangan menyesuaikan zamannya dan adanya evolusi. Berikut perkembangan wayang dari zaman ke zaman berdasakan Salam (1988: 36-41)

Masa Pra Kerajaan Islam

a. Prabu Jayabaya di Mamenang menggambar leluhurnya kemudian dinamakan “wayang purwa”. Prabu Jayabaya kemudian dikenal sebagai pencipta wayang pertama kali. Prabu Jayabaya adalah raja dari Kerajaan Kahuripan, Kediri, yang memerintah tahun 1135-1157. Pada masa ini juga mulai ada pertunjukan wayang. 

b. Padan tahun 1145, pada masa Raden Panji Kasatrian menjadi raja di Kerajaan Jenggala yang bergelar Prabu Surjamisesa, diadakan pertunjukkan wayang purwa. Dalang dari pertunjukkan wayang tersebut adalah Raden Panji Kasatrian sendiri. Pada zaman ini wayang kulit purwa menggunakan iringan gamelan slendro dan menggunakan suluk sekar ageng. 

c. Pada tahun 1166, ketika Kerajaan Jenggala sudah hancur, yang menjadi raja adalah Prabu Maesakandremen yang bertempat di Kerajaan Pajajaran. Ia juga menciptakan wayang purwa yang mirip dengan wayang purwa buatan dari Jenggala.

d. Pada tahun 1283, masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Raden Jaka Sesuruh bergelar Prabu Branata. Ia membuat wayang purwa yang digambar pada kertas yang lebar. Wayang tersebut kemudian disebut sebagai wayang beber.

e. Ketika masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Prabu Brawijaya I, ia menugaskan anaknya untuk menggambar bentuk dan corak dengan beraneka warna menurut adegan masing-masing. Prabu Brawijaya I menugaskan hal tersebut kepada anaknya karena anaknya pandai menggambar. Masa pembuatan wayang tersebut terjadi pada tahun 1301. Semenjak masa itu, setiap pergantian raja, wayang juga mengalami perubahan wujud dan bentuk. 

Wayang Kulit Masa Kini, Bentuk En Profil (ditampakkan dari samping)

Masa Pasca Kerajaan Islam

f. Pada tahun 1443, berdasarkan usulan Sunan Kalijaga, para wali menciptakan wayang purwa dan dibuat satu-satu. Adapun bahan untuk membuat wayang adalah kulit kambing. Masing-masing wayang dijapit satu-satu yang berguna untuk tempat menancapkan. Sedangkan tangan wayang masih diiris seperti wayang Bathara Guru.

g. Pada tahun 1447, masa R. Trenggono menjadi Sultan III dikerajaan Demak, menyempurnakan wayang purwa dengan menatah mulut, mata, dan telinganya.

h. Pada tahun 1480, ketika Sunan Ratu Tunggal di Giri mewakili raja di Demak, membuat perubahan terhadap wayang purwa. Wujud wayang diperkecil dan kemudian disebut sebagai wayang kidang kencana. Dalam wayang kidang kencana yang perempuan diberi perlengkapan anting-anting, kroncong, dan sebagainya. Sedangkan wayang laki-laki rambutnya ada yang dikonde dan ada yang tidak. 

i. Tahun 1485, Sunan Giri membuat wayang gedog mirip dengan wayang purwa.

j. Tahun 1486, Sunan Bonang membuat wayang gedog, menggunakan tabuhan rebab, kendang, terbang, angklung, kenong dan keprak.

k. Pada tahun 1505, masa Jaka Tingkir menjadi Sultan di Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, membuat wayang purwa dengan melakukan sedikit perubahan. 

l. Pada tahun 1542, ketika Panembahan Senopati menjadi raja di Mataram, membuat wayang purwa dengan dasarnya wayang ciptaan Pajang. 

m. Pada tahun 1552, pada masa Sunan Prabu Cakrawati di Mataram, membuat wayang purwa dengan dasarnya dari wayang kidang kencana, tetapi sedikit dilakukan perubahan.

n. Ketika yang menjadi raja di Mataram (Mataram III) adalah Sunan Kanjeng Sultan Agung, juga membuat wayang purwa.

Perubahan Bentuk Dipengaruhi Oleh Perubahan Sosial

Perkembangan wayang sebagaimana dirinci merupakan hasil evolusi dalam jangka waktu yang panjang. Wayang selalu dikreasi, direkonstruksi dari wujud yang sederhana menjadi wujud yang lebih sempurna. Perubahan bentuk pada wayang yang semula en face (Tampak depan), kemudian berubah menjadi en trois quart (Tampak dari samping dan depan) dan menjadi en profil (tampak samping)

Evolusi pada wayang di pengaruhi perubahan sosial budaya pada masanya. Perubahan wayang yang rekonstruktif dan paradigmatis dikatakan oleh para ahli karena masuknya agama Islam yang berkembang di Jawa.

Perubahan pada wayang beralih dari yang realistik naturalistik (en face) menjadi abstrak dekoratif dan abstrak simbolik. Dalam teori, seni wayang adalah gambar ideoplastik, bukan visioplastik. Gambar dalam wayang bukan terlahir dari pengamatan visual akan tetapi hasil dari ekspresi pembuatnya. 

Berpijak pada teori Herbert Read sebagaimana yang dikutip Sulanjari, wayang berasal dari alam, kemudian ditransfer dalam bentuk gambar tetapi tidak melalui pengamatan visual. Dapat dikatakan
wayang adalah hasil ekspresi apa yang telah dilihat, didengar dan didengar oleh penciptanya.

Bentuk wayang yang unik akibat dari pencipta yang ingin merekam alam dengan selengkap-lengkapnya. Misal kalau melihat bentuk wayang lima jari kaki yang dilukiskan apa adanya. 
Wayang adalah manifestasi multi-seni, di dalamnya terdapat kebulatan, kesatuan dalam penciptaan, penyajian dan pemirsaan. Wayang dibuat untuk dipentaskan, sehingga perubahan yang terjadi pada satu unsurnya akan terasa pengaruhnya pada unsur lain. 

Kebulatan ini kemudian disepakati dan dipahami bersama sebagai sesuatu yang sempurna. Wayang sebagai simbol yang telah disepakati, oleh karena itu akan melahirkan kontroversial. Perubahan itu 
akan membentuk sesuatu yang baru, bukan menyempurnakan yang telah ada (Sedyawati, 1981: 29-30).

Wayang Terus Dikembangkan dan Dikreasikan

Para seniman wayang melakukan berbagai eksperimen, menyajikan wayang yang menarik untuk di pentaskan. Misalnya bentuk wayang yang dipentaskan oleh Almarhum Ki Enthus Susmono, dalang kondang dari Tegal Jawa Tengah. Selain sebagai dalang Almarhum Ki Enthus Susmono pernah menjabat sebagai Bupati Tegal, Provinsi Jawa Tengah.

Setiap pementasannya menyajikan bentuk-bentuk wayang yang atraktif dan menarik. Misal menciptakan wayang Jokowi, Ahok, dan sebagainya. Dengan demikian wayang terus berkembang dan dinamis menyesuaikan dengan perubahan sosikultural dalam masyarakat.

Penulis:
Fatkur Rohman Nur Awalin, Dosen IAIN Tulungagung, dalam Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

Post a Comment

Jasa Desain Website Proffessional