Sumber Sejarah Perkembangan Wayang di Abad ke Sembilan
Table of Contents
![]() |
Relief Durga Ra Nini Marah pada Sadewa pada Teras Candi Sukuh (foto: Dok. Arkenas) |
Prasasti
Prasasti yang menyebutkan adanya penggunaan nama “mawayang” adalah prasasti pada zaman Prabu Dyah Balitung tahun 829 Saka (709 M).“...sinalu macarita bhima kumara mangingal kicaka/si jaluk macarita Ramayana/ mamirus mabanol si muk muk/ si galigi mawayang buat hyang macarita bhima ya kumara...”.
(“Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh Sang Tangkil, Hyang si Nalu bercerita Bhima kumara dan menarikan Kicaka. Si jaluk bercerita Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk hyang (arwah nenek moyang) dengan cerita (Bhima) kumara”).
Prasasti tersebut memuat peristiwa penting, yakni terkait dengan digelarnya pentas pewayangan. Dalam prasasti tersebut diterangkan pementasan pergelaran wayang yakni menyanyi (menembang), bercerita dan memainkan wayang. Sisi menariknya adalah memainkan wayang untuk arwah nenek moyang, dapat dikatakan wayang digunakan sebagai ritus religius. Dengan demikian pada masa tersebut sudah ada pentas wayang, digemari oleh masyarakat, digunakan sebagai ritus religius dan yang menyelenggarakan adalah orang penting (raja).
Prasasti lain yang mengindikasikan digunakannya kata “wayang” dengan nama “ringgit” adalah Prasasti Jaha tahun 762 saka (840 M). Dalam Prasasti Wahara Kuti tahun 762 saka (804M) dan Prasasti Mantyasih 826 saka (904 M) ditemukan kata “hatapukan” atau “matapukan”.
Dalam Prasasti Candi Perot tahu 772 saka (850M) ditemukan kata “manepel” dan Prasasti Wilamaasrama tahun 952 saka (930 M) ditemukan kata “wayang wwang”.
Berdasarkan sumber dari prasasti setidaknya dapat dilacak keberadaan wayang, yakni sekitar abad IX sudah ada wayang. Wayang sudah dipentaskan digunakan sebagai ritus religius. Bentuk wayang masih sederhana dan peralatan penunjang wayang juga masih sederhana. Masyarakat sangat antusias dengan pergelaran wayang. Wayang menjadi hiburan yang merakyat.
Berdasarkan indikasi adanya wayang, di masa-masa sebelumnya, silakan baca link artikel berikut
Kepustakaan Jawa Kuna
Sumber sejarah wayang selanjutnya adalah dari kepustakaan Jawa Kuna. Dalam lontar kakawin “Arjuna Wiwaha” karangan Mpu Kanwa pada masa Prabu Airlangga kurang lebih tahun 1030 masehi, di tulis di pupuh Cikharini kaping 9 sebagai berikut:“Hananonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikanari tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman”
(“Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya. Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu. Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja, sampai tak tahu, bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka”).
Selanjutnya dalam kakawin Wrtasancaya karangan Mpu Tanakung, di pupuh 93 “madaraka” sebagai berikut:
“Lwir mayawang tahen gati nikang wukir Kineliran himawang anipis Bungbung ikang petung kapawanan Yateka tudunganya munyangarangin, Paksi ketur salundinganika Kinangsyani pamangsuling kidang alon."
(“Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung-gunung bertanaman penuh, Pohon-pohonnya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu petung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana tudungan (suling) yang seakan-akan datangnya dari jauh, sangat menarik hati. Suara gemak terdengar laksana suara kempul gong. Di antara kesemuannya itu suara teriakan kijang dari jauh terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang dipukul imbal (bergantian). Suara burung merak yang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati”).
Wayang di Abad ke 9
Berdasarkan penelusuran dari dua sumber sejarah, yakni prasasti dan kepustakaan Jawa
Kuna yang diambilkan dari beberapa kakawin, yakni Arjuna Wiwaha, Wrtasancaya, Kitab Tantu Pagelaran, sampai pada kakawin Bhatarayuda pada zaman Majapahit. Sumber sejarah itu dapat digunakan untuk mengambil suatu hipotesa tentang keberadaan wayang. Berdasarkan sumber wayang sudah ada sejak abad kurang lebih IX.
Walaupun jauh sebelum abad IX sudah ada wayang dalam bentuk yang sederhana dan sebagai medium menyembah arwah nenek moyang. Dengan merujuk sumber sejarah prasasti dan kakawin dapat diketahui wayang itu berkembang dan terdapat evolusi dalam wayang. Sifatnya wayang adalah dinamis menyesuaikan sosiokultural masyarakatnya. Secara psikologis wayang tidak bisa hilang dalam benak masyarakat.
Wayang pada abad IX merupakan wayang dalam wujud yang lebih sempurna. Wayang
sudah dipentaskan, digelar yang menonton adalah masyarakat. Wayang pada masa tersebut sudah mewujud dalam bentuk wayang yang dipentaskan. Pementasan wayang pada masa itu masih sederhana dan kegunaannya masih sama, yakni bersendikan magis-religius, salah satunya sebagai upacara keagamaan.
sudah dipentaskan, digelar yang menonton adalah masyarakat. Wayang pada masa tersebut sudah mewujud dalam bentuk wayang yang dipentaskan. Pementasan wayang pada masa itu masih sederhana dan kegunaannya masih sama, yakni bersendikan magis-religius, salah satunya sebagai upacara keagamaan.
Otentitas Sumber Data
Sumber sejarah dari prasasti mempunyai bobot sejarah yang tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan. Menulis di prasasti mempunyai tujuan mencatat dengan cermat dekrit raja, tanggal dekrit raja, para pejabat yang melakukan upacara-upacara magis-religius, semua ihwal tersebut dicatat dengan rinci dan teliti.
Dapat dikatakan prasasti merupakan sumber sejarah yang otentik. Prasasti jumlahnya banyak dan bertebaran di mana-mana. Setiap kerajaan yang ada di Nusantara dapat dipastikan ada prasastinya. Prasasti merupakan suatu penanda peristiwa penting.
Sumber sejarah selanjutnya adalah kakawin sebagaimana yang telah diuraikan
di atas (Zoetmulder, 1985: 385). Dengan demikian dengan merujuk sumber-sumber sejarah dari prasasti dan kakawin dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Perujukan dengan prasasti dan kakawin berdasarkan penelitian para ahli yang sudah mensahihkan prasasti maupun kakawin sebagai sumber sejarah.
di atas (Zoetmulder, 1985: 385). Dengan demikian dengan merujuk sumber-sumber sejarah dari prasasti dan kakawin dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Perujukan dengan prasasti dan kakawin berdasarkan penelitian para ahli yang sudah mensahihkan prasasti maupun kakawin sebagai sumber sejarah.
Penulis:
Fatkur Rohman Nur Awalin, Dosen IAIN Tulungagung, dalam Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018
Fatkur Rohman Nur Awalin, Dosen IAIN Tulungagung, dalam Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018
Post a Comment