Aksesories Laptop n Komputer

Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa Kuno

Table of Contents
Wayang Kulit Jawa

Wayang Jawa 1500 SM

Secara historis, dalam penelusuran jejak sejarah wayang, ditemukan suatu indikasi yang menyatakan bahwa wayang sudah ada sejak 1500 SM.

Indikasinya, wayang pada zaman tersebut difungsikan sebagai medium untuk mendatangkan arwah leluhur. Kepercayaan terhadap arwah leluhur berkorelasi dengan sistem kepercayaan masyarakat Jawa zaman prasejarah, di mana masyarakat pada zaman tersebut melakukan ritual penyembahan kepada arwah leluhur atau nenek-moyang atau kepercayaan kepada hyang, selanjutnya dinamakan pergelaran wayang (Poespaningrat, 2005: 5). 

Wayang pada masa itu digunakan sebagai media pemujaan kepada arwah leluhur, dengan sebutan hyang atau dahyang. Apabila berkomunikasi dengan roh-roh itu, masyarakat Jawa memerlukan bantuan seorang syaman. Proses ini merupakan cikal bakal dari sejarah wayang yang berasal dari kata hyang, kemudian disebut wayang dan syaman adalah dalang (Masroer, 2015: 25).

Dari kepercayaan arwah leluhur, mengilhami timbulnya cara bagaimana membuat wayang, yaitu gambar bayangan para leluhur yang sudah meninggal. Gambar bayangan tersebut pada perkembangannya berdasarkan peradaban manusia dinamakan wayang (Sunarto, 1989: 16-17). 

Pemaknaan Wayang

Penegasan paradigma makna wayang adalah bayangan. Makna wayang sebagai bayangan mengalami perubahan makna seiring perkembangan dalam masyarakat. Wayang tidak lagi dimaknai sebagai bayangan namun wayang dimaknai sebagai pertunjukan panggung atau teater (Guritno, 1988: 30).

Pada dasarnya pertunjukan wayang adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa kuno, yang pada saat itu masih menganut kepercayaan kepada arwah leluhur. Pada masa itu para pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan berupa arca sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan hyang (Marsaid, 2016: 60).

Pemaknaan wayang sebagai pertunjukan panggung atau teater berkorelasi dengan puncak kesenian pewayangan di Jawa, yakni pada tahun 907 Masehi dan abad XI. Pergelaran wayang dipergelarkan dan menjadi daya tarik bagi yang menontonnya. Pokok pergelaran wayang sifatnya masih magis-religius. Alat-alat pendukung yang digunakan masih sederhana dan gendhing-gendhing yang mengiringi masih bernuansa Hindu (Mulyono, 1989: 57).

Pemvisualisasian pertunjukan atau pergelaran wayang terdapat dalam kakawin “Arjuna Wiwaha” karya Mpu Kanwa, Prabu Airlangga 1030 Masehi

Ditulis dalam pupuh (bait) Cikharini pupuh kaping 9:
“Hanonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikana ritatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman”. 
(“Ada orang menonton atau melihat wayang menangis, kagum, sedih hatinya. walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang umpanya orang yang bernafsu dalam keduniawiaan yang serba niknat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa pada hakikatnya hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja”). 

Uraian di atas mengilustrasikan orang yang sedang menonton wayang sampai merasakan suasana dalam pergelaran wayang. Uraian tersebut mengindikasikan wayang sudah menjadi tontonan masyarakat yang digemari. 

Wayang Sebagai Sebuah Pertunjukan

Wayang sudah menyuguhkan tontonan yang atraktif dan mampu menyihir para penonton sehingga para penonton dengan khusuk menyimak pagelaran wayang. Walaupun sebenarnya yang dilihat hanya boneka yang diukir, yang digerakkan oleh sang dalang dan pergelaran wayang masih sederhana dengan peralatan yang minim. 

Perkembangan seni pewayangan mengalami penyesuaian paradigmatis ketika bangsa Nusantara kontak budaya dengan negara lain, ditandai masuknya kebudayaan India dengan agama Hindu di Nusantara. Wayang semakin berkembang, dengan mengambil cerita dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Mahabharata di India, isinya berkaitan dengan dharma. 

Masuknya kebudayaan Hindu ke Jawa membawa pengaruh pada pentas bayangan dan cerita wayang. Kitab Mahabharata dan Ramayana mulai dikenal setelah ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang bercampur dengan bahasa Sansekerta pada masa pemerintahan Dyah Balitung Raja Mataram I (892-910). 

Pengaruh Budaya Hindu Pada Wayang

Orang Jawa menerima pengaruh agama Hindu karena berprinsip toleransi agama, maka terjadi fusi kepercayaan. Pertunjukan wayang yang semula menceritakan mitos nenek moyang berganti ke epos Mahabharata dan Ramayana karena ada kesamaan, yaitu memuja dewa-dewa. Dewa-dewa pada epos Mahabharata dan Ramayana lebih konkret sehingga lebih mudah dirasakan. 

Orang Jawa mengadopsi dewa dan pahlawan India dan mencampurnya dengan mitos kuno tentang asal usul dan kepahlawanan nenek moyang, maka terjadi akulturasi Hindu ke Jawa dan proses Jawanisasi budaya Hindu. Cerita wayang yang merupakan fusi Jawa-Hindu kemudian ditulis dan dikenal orang sebagai sumber cerita wayang, dan sering disebut sebagai wiracarita Mahabharata dan Ramayana (Nurgiyantoro, 2011: 115).


Penulis:
Fatkur Rohman Nur Awalin, Dosen IAIN Tulungagung, dalam Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

Post a Comment

Jasa Desain Website Proffessional